Selama hidup, terhitung hanya 2 kali benar-benar merasa sakit karena sesorang yang serasa sangat di cintainya. Dan tau rasanya? Sungguh lebih sakit dari pada harus di pukul sapu sama bapak karena tidak mau salat, selama itu juga hanya sekali dia punya kebiasaan yang tidak biasa menurutnya yang dengan melakukannya dapat merasa bahwa tuhan dan alam benar benar memihaknya.
Hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang sangat berharga memilikinya. Sangat berharga. Ada kehilangan anggota tubuh, pekerjaan, orang tua, benda berharga, kesempatan, kepercayaan, kekasih dan sebagainya, dalam ukuran tertentu, kehilangan yang di alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tapi kita tidak sedang berbicara tentang ukuran relatif lebih kurang. SEMUA KEHILANGAN ITU MENYAKITKAN.
Dalam cerita ini dia adalah tokoh yang kehilangan kebiasaan dengan seseorang yang teramat penting. Mungkin karena keseringan membaca novel, tidak jarang dia mengaplikasikan kejadian kejadian fiksinya dalam kehidupan nyata.
Termasuk memandangi purnama setiap tanggal 15. Berbaring di atas rumah memandangi bintang-bintang dan jika kebetulan ada bintang kejora sedang menari takjim dia akan berdoa mengutai harapan – harapan dan berharap kejora akan menyampaikan kepada yang maha memiliki segalanya.
Belum lama, kebiasaan itu muncul saat purnama bulan agustus silam mulai saat itulah dia sadar, bahwa purnama benar-benar indah dan menyimpan kedamaian. Hingga saat ini dia tidak ingin absen melewatkan moment indah sebulan sekali tersebut.
Sayangnya terakhir saat dia memandangnya dan melewatinya sendiri, berjam-jam memandang langit dengan banyak kenangan dan tak jarang air mata tidak tertahan untuk keluar.
Dunia memang selalu berubah. Tapi percayalah meski semua menikam untuk mengikuti perubahanya akan ada hal-hal yang tetap sama tidak berubah salah satunya memandang bulan sabit yang berubah purnama dan purnama yang menyabit. Ah mengenangnya saja sudah indah. Itulah kenapa, dia menyukai lampu-lampu jalanan malam hari. Sebenarnya dia tidak benar-benar suka. Karena istilah yang lebih tepat adalah pelampiasan. Saat dia tidak bisa memandang purnama dengan segala kenangan dan rasa sakitnya , dia memutuskan menikmati lampu-lampu itu. Meski hanya duduk di trotoar, melihat kendaraan berlalu lalang, itu sudah cukup mengalihkan rasa sakit dan suatu saat dia ingin duduk bersama, memandang purnama sekaligus lampu-lampu jalanan bersama.
Kebiasaan itu tidak pernah hilang dalam keseharianya, apalagi berubah. Tapi yang membuat air mata menetes setiap melakukannya adalah karena dia melakukan sendiri. Sangat sendiri. Aku mengenang dia walau hanya ditemani lewat via telpon. Skrang Tidak ada lagi yang menemaninya via telepon dengan senandungnya. Dengan kata-kata yang selalu membuat merasa sempurna saat itu. Itu mengapa dia menganggap purnama selalu menyimpan kesenangan, rasa sakit, dan Kejora. Dia yang tau semuanya apakah dia benar-benar sudah bisa untuk melupakanya atau masih mengenangnya. Diam dan memandang adalah pilihan.
Hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang sangat berharga memilikinya. Sangat berharga. Ada kehilangan anggota tubuh, pekerjaan, orang tua, benda berharga, kesempatan, kepercayaan, kekasih dan sebagainya, dalam ukuran tertentu, kehilangan yang di alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tapi kita tidak sedang berbicara tentang ukuran relatif lebih kurang. SEMUA KEHILANGAN ITU MENYAKITKAN.
Dalam cerita ini dia adalah tokoh yang kehilangan kebiasaan dengan seseorang yang teramat penting. Mungkin karena keseringan membaca novel, tidak jarang dia mengaplikasikan kejadian kejadian fiksinya dalam kehidupan nyata.
Termasuk memandangi purnama setiap tanggal 15. Berbaring di atas rumah memandangi bintang-bintang dan jika kebetulan ada bintang kejora sedang menari takjim dia akan berdoa mengutai harapan – harapan dan berharap kejora akan menyampaikan kepada yang maha memiliki segalanya.
Belum lama, kebiasaan itu muncul saat purnama bulan agustus silam mulai saat itulah dia sadar, bahwa purnama benar-benar indah dan menyimpan kedamaian. Hingga saat ini dia tidak ingin absen melewatkan moment indah sebulan sekali tersebut.
Sayangnya terakhir saat dia memandangnya dan melewatinya sendiri, berjam-jam memandang langit dengan banyak kenangan dan tak jarang air mata tidak tertahan untuk keluar.
Dunia memang selalu berubah. Tapi percayalah meski semua menikam untuk mengikuti perubahanya akan ada hal-hal yang tetap sama tidak berubah salah satunya memandang bulan sabit yang berubah purnama dan purnama yang menyabit. Ah mengenangnya saja sudah indah. Itulah kenapa, dia menyukai lampu-lampu jalanan malam hari. Sebenarnya dia tidak benar-benar suka. Karena istilah yang lebih tepat adalah pelampiasan. Saat dia tidak bisa memandang purnama dengan segala kenangan dan rasa sakitnya , dia memutuskan menikmati lampu-lampu itu. Meski hanya duduk di trotoar, melihat kendaraan berlalu lalang, itu sudah cukup mengalihkan rasa sakit dan suatu saat dia ingin duduk bersama, memandang purnama sekaligus lampu-lampu jalanan bersama.
Kebiasaan itu tidak pernah hilang dalam keseharianya, apalagi berubah. Tapi yang membuat air mata menetes setiap melakukannya adalah karena dia melakukan sendiri. Sangat sendiri. Aku mengenang dia walau hanya ditemani lewat via telpon. Skrang Tidak ada lagi yang menemaninya via telepon dengan senandungnya. Dengan kata-kata yang selalu membuat merasa sempurna saat itu. Itu mengapa dia menganggap purnama selalu menyimpan kesenangan, rasa sakit, dan Kejora. Dia yang tau semuanya apakah dia benar-benar sudah bisa untuk melupakanya atau masih mengenangnya. Diam dan memandang adalah pilihan.