Pak Muhammad Naim: “Jangan Berangkat dengan Kepala Kosong”
Namanya Pak Muhammad Naim. Ia adalah guru mata pelajaran Pendidikan Nasional saat aku menjadi siswa SPG Negeri Lamongan. Sosoknya begitu melekat dalam benakku, bukan hanya karena ilmunya yang luas, tetapi juga karena satu nasihat yang selalu ia ulang hampir setiap kali mengajar: “Jangan berangkat ke sekolah dengan kepala kosong.”
Petuah sederhana, tapi maknanya begitu dalam.
Pak Naim adalah sosok guru berwibawa. Setiap kali memasuki kelas, tubuhnya tegap, langkahnya mantap. Mengenakan kemeja lengan panjang rapi, dengan suara lantang yang menandakan semangat, ia langsung menyapa kami, para calon guru, dengan pertanyaan.
“Siapa yang bisa menyebutkan tujuan pendidikan nasional?”
“Apa perbedaan pendidikan formal dan non-formal?”
“Bagaimana pendapat kalian tentang peran guru dalam membentuk karakter bangsa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar formalitas pembuka. Beliau ingin benar-benar mengukur kesiapan kami dalam belajar—dan lebih dari itu, kesiapan kami kelak menjadi guru sejati. Dan jika ada di antara kami yang menjawab dengan asal atau bahkan tidak tahu, beliau tidak marah. Ia hanya akan tersenyum dan berkata, “Nah, itu namanya berangkat ke sekolah dengan kepala kosong.”
Kami tahu maksudnya: jangan datang ke kelas tanpa persiapan. Jangan mengajar tanpa ilmu. Jangan berdiri di depan murid tanpa keyakinan.
Pak Naim adalah lulusan IKIP Surabaya. Tapi jejak pendidikannya bermula dari PGA Bojonegoro—Pendidikan Guru Agama—yang membentuk karakter religius dan keilmuannya sejak remaja. Kombinasi inilah yang menjadikannya sosok guru yang tidak hanya menguasai teori, tapi juga mendalam dalam nilai-nilai moral dan tanggung jawab.
Mengajarnya tidak hanya menyampaikan materi, tapi menghidupkan semangat menjadi guru yang profesional dan bermartabat. Ia sering berkata, “Guru itu digugu dan ditiru. Maka, kalau kamu malas membaca, malas berpikir, maka apa yang bisa ditiru dari dirimu nanti?”
Yang membuat Pak Naim begitu berkesan adalah caranya menyampaikan pelajaran dengan penuh semangat. Ia bukan tipe guru yang monoton. Suaranya tegas, mimik wajahnya hidup, dan kadang ia berjalan ke sana ke mari di kelas saat menjelaskan. Bahkan, saat menyampaikan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, beliau bisa membuat kelas terasa seperti ruang kuliah filsafat pendidikan yang sangat hidup.
Aku ingat betul, suatu hari beliau menjelaskan tentang konsep “Tut Wuri Handayani”, lalu memandang kami satu per satu sambil berkata:
“Kelak, kalian ini akan berada di belakang anak-anak, memberi dorongan. Tapi bagaimana bisa mendorong mereka ke depan kalau kalian sendiri tidak tahu ke mana arah tujuan pendidikan itu?”
Kata-katanya menggugah kesadaran kami: menjadi guru bukan sekadar profesi, tapi jalan pengabdian yang menuntut kesiapan lahir dan batin.
Di luar kelas, Pak Naim tidak banyak bicara. Tapi ketika diajak berbincang, ia sangat terbuka dan bijak. Beberapa kali aku memberanikan diri menemui beliau di ruang guru untuk berdiskusi. Dan seperti biasa, beliau akan mengawali dengan satu dua pertanyaan, seakan ingin menguji apakah aku benar-benar ingin belajar atau sekadar basa-basi.
“Sudah baca buku apa minggu ini?”
“Pendidikan itu dinamis. Kamu harus selalu mengikuti perkembangan zaman. Guru itu pembelajar seumur hidup.”
Petuah-petuahnya sederhana, tapi selalu menusuk ke dalam.
Pak Naim bukan hanya guru Pendidikan Nasional, ia adalah guru kehidupan. Ia membentuk cara berpikir, cara belajar, bahkan cara mempersiapkan diri untuk menjadi pendidik yang bisa diandalkan. Ia tidak suka guru yang asal-asalan. Ia sangat percaya bahwa kualitas pendidikan bangsa ini sangat bergantung pada kualitas gurunya.
Bahkan, ketika menjelang kelulusan, beliau pernah berkata pada kami di kelas:
“Jika kalian kelak jadi guru dan datang ke kelas tanpa persiapan, ingat kata-kata saya: kalian sedang mengkhianati amanat pendidikan. Jangan anggap remeh profesi guru. Ini amanah besar.”
Kalimat itu, lebih dari sekadar nasihat. Itu adalah amanat. Dan hingga hari ini, kalimat itu tetap hidup dalam langkahku setiap kali aku berdiri di depan siswa, menyampaikan pelajaran, menyusun kurikulum, atau sekadar menulis catatan harian pendidikan.
Terima kasih, Pak Naim. Terima kasih atas teguran-teguran lembutmu, atas pertanyaan-pertanyaan yang memaksa kami berpikir, dan terutama atas semboyanmu yang akan terus menjadi pengingat sepanjang masa: “Jangan berangkat dengan kepala kosong.”
Bagaimana dengan murid murid kita saat ini. Bagaimana dengan kita yang berprofesi sebagai tenaga pendidik